Cursor

godong

Jumat, 23 Agustus 2013

Noor Anani : Penjaga Warisan Topeng Losari

Noor Anani M Irman "sang pewaris Topeng Losari" PURWA KENCANA


PROFIL:
NOOR ANANI MASKA IRMAN
Lahir: Cirebon, Jawa Barat, 5 Juni 1977
Pendidikan: Sarjana tari STSI Bandung (2002)
Suami: Ahmad Deden Muhaimin (35)
Anak:
- Muhammad Tegar Pratama Putra Dena (6)
- Muhammad Naizar Dwiputra Dena (2 tahun 6 bulan)
Penghargaan, antara lain:
- Satyalancana Bidang Tari dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2011
- Penari Muda Terbaik dari Presiden Megawati Soekarnoputri, 2004
 ID FB: Nani Topeng Losari
 "Aku menari untuk tubuhku dan Tuhan. Tak usah merisaukan penonton dan hal lain." Demikian Noor Anani Maska Irman menggambarkan makna tari bagi dirinya saat ditemui di rumahnya di pusat Kota Cirebon, Jawa Barat, pada suatu sore.

Ibu dua anak dengan panggilan Nani ini adalah pewaris seni tari topeng Cirebon gaya Losari. Ia mewarisinya melalui darah dan didikan keras sang nenek, Mimi Dewi dan Mimi Sawitri. Ia adalah cucu pertama Mimi Dewi yang pada era 1970-an membawa tari topeng Losari ke puncak ketenaran bersama adiknya, Mimi Sawitri.
Pada masanya, Dewi-Sawitri sudah menghadapi beratnya seni tradisi bertahan di pusaran zaman. Topeng Losari seperti tidur panjang menghadapi arus modernitas yang serba instan. Keduanya berusaha membangkitkan kembali gairah topeng Losari. Mereka ngamen ke beberapa tempat dan hidup prihatin. Mereka menjual tikar untuk makan anggota kelompok tarinya.
Tantangan bagi topeng Losari tak berhenti di sini. Pada era Nani, segalanya lebih berat. "Tanggapan makin sepi. Dalam sebulan belum tentu ada satu permintaan manggung. Saya sering tampil dengan kelompok lain atau memanfaatkan jaringan seniman lain. Tetapi, saya tetap membawakan topeng gaya Losari," kata  Nani.
Ia sudah menjelajah 16 negara, antara lain Amerika Serikat, Australia, Jepang, Banglades, Malaysia, Italia, Belanda, Taiwan, Spanyol, dan Brunei. Dari beberapa perjalanannya itu, Nani dibawa tampil oleh dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung, Endo Suanda. Endo pula yang membiayai kuliah Nani di kampus itu. Nani lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,90.
Semangat Nani menemui cobaan berat saat topeng Losari kian terpencil. Kehadiran penonton dan tempat manggung menjadi kebutuhan kelompok tari Purwa Kencana yang dipimpinnya.
Ia patah hati karena minimnya perhatian pemerintah daerah. Ia pernah diberi bantuan gamelan oleh Pemerintah Provinsi Jabar, tetapi gamelan itu berlaras slendro, bukan pelog seperti yang biasa dipakai kelompok tarinya. Sejak meninggalnya Mimi Sawitri tahun 1999, Purwa Kencana seperti mati suri.
Peluh perjuangan topeng losari itu tergambar dari kondisi sanggarnya di Desa Astanalanggar, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. Terletak di belakang rumah Dewi-Sawitri, sanggar itu tersembunyi dari pandangan mata diapit kebun dan rumah warga.
Berukuran sekitar 98 meter persegi, atap sanggar yang didirikan tahun 1984 itu sudah banyak yang bocor. Pagar bambunya reyot. Di dalam peti di pojok sanggar terletak seperangkat gamelan.
"Ini gamelan yang kami pesan sendiri, terbuat dari besi. Dulu, Kompas pernah memberi kelompok kami gamelan yang bagus dari perunggu. Sayang, gamelan itu dicuri saat kami manggung  di Jakarta," ungkap Nani.
Sehari-hari, sanggar dirawat dan dijaga Taningsih (38), sepupuya. Di sanggar ini, sekitar 50 siswa belajar tari topeng Losari.
Banyak kekhasan
Jika dibandingkan dengan tari topeng dari wilayah barat Cirebon, tari topeng Losari yang mewakili Cirebon bagian timur memiliki kekhasan. Lokasinya yang berbatasan dengan Brebes, Jawa Tengah, membuat topeng Losari banyak dipengaruhi gaya Jateng.
Banyak gerakan tarinya yang tak dijumpai dalam tari topeng Palimanan, topeng Slangit, topeng Gegesik, topeng Susukan, atau topeng Tambi di Indramayu.
Gerakan khas Losari yang tak dijumpai dalam gaya wilayah lain adalah nggaleyong atau kayang, yakni gerakan meliukkan badan ke belakang. Losari juga punya gantung sikil, gerakan menahan atau menggantung kaki selama lebih dari 10 menit. Ada pula gerakan pasang naga seser, gerakan khas kuda-kuda.
Dari sisi kostum, musik, urutan cerita, dan urutan penyajian, topeng Losari juga berbeda dengan tari topeng lain. Jika penari topeng dari wilayah barat mengenakan kain bermotif mega mendung, penari topeng Losari mengenakan kain motif liris atau parang yang dipengaruhi Jateng.
Pada tari topeng wilayah barat ada lima tingkatan yang ditarikan, yaitu Panji, Samba (pamindo), Rumyang, Tumenggung, dan Klana. Urutan tari pun tak terikat pada pembabakan ceritanya.
Setiap babak menceritakan perjalanan hidup dan watak manusia. Panji menceritakan karakter manusia yang baru lahir, yakni suci dan bersih. Samba mewakili karakter anak-anak atau remaja. Rumyang menggambarkan manusia menjelang dewasa yang bergejolak. Tumenggung mencitrakan manusia dewasa. Adapun Klana adalah gambaran manusia yang dursila.
Nani mengatakan, pembabakan tersebut berbeda dengan topeng Losari. Pada gaya Losari, yang diutamakan bukan watak, melainkan lebih pada cerita, teknik, dan penjiwaan karakternya. Karena itu, topeng Losari biasa disebut topeng Lakonan.
Ada sembilan pembabakan dalam topeng Losari, Yakni Panji Sutrawinangun, Patih Jayabadra, Kili Paduganata, Tumenggung Magangdiraja, Jinggan Anom, Klana Bandopati, Rumyang, dan Lakonan.
Dalam Lakonan ada beberapa tokoh Panji lain yang tak ditemui  dalam gaya topeng wilayah barat. "Pada gaya Losari, setiap tarian dibawakan penari yang berbeda. Sementara dalam gaya Cirebon wilayah barat, lima tarian bisa dibawakan seorang penari," ujarnya.
Makna tari
Makna tari untuk "tubuhku dan Tuhan" agaknya kembali pada ciri penari topeng Losari yang menjadikan kotak topeng dan nayaga (para penabuh gamelan) sebagai sentral.
Penari sesungguhnya tak menghadap penonton karena dia menghadap ke kotak topeng dan nayaga. "Tak peduli penonton sedikit atau banyak mereka suka atau tidak, saya harus menari dengan energi dan penjiwaan sepenuhnya," kata Nani merumuskan prinsip tarian yang tulus ini.
Oleh karena itulah, harga diri dan kesucian ritual harus dijaga. Nani tak mau mengorbankan topeng Losari yang diwarisinya hanya demi uang. Ketika beberapa penari topeng "berdamai" dengan menyelingi  pertunjukannya dengan dangdut sesuai dengan permintaan penonton, ia menolaknya.
"Lebih baik saya tak ditanggap (diminta tampil) daripada harus manggung tetapi sambil diminta menyanyi dangdut," katanya.
Setiap akan tampil, Nani menjalani ritual tertentu. Sejak kecil, ia dibiasakan bertirakat, tak makan sebelum pukul 10.00. Ia juga berpuasa Senin-Kamis. "Tirakat untuk ketenangan batin."
Lahir dari keluarga berkekurangan, Nani pernah menjadi buruh gendong di pasar. Ia paham arti berjuang dan bertanggung jawab atas sesuatu. "Saya akan terus menari. Topeng Losari tak boleh punah," ujarnya.

Sumber :: Gunung Jati Blog

Sabtu, 13 Juli 2013

SAWITRI sang mask dance maestro

SANG MAESTRO TARI TOPENG CIREBON gaya LOSARI


" SAWITRI " Maestro Kebanggaanku,...

Baginya Kematian bukan hal yg paling Beliau takuti. Bersanding dengan Maut adalah bagian Akhir dari perjalananya menyelami dunia Tari yg digelutinya sejak masih gadis. "Tidak ada yg lebih menarik dari hidup ini selain MENARI", begitu Tegasnya pada satu ketika saat beliau terbaring di RS. Ciremai.
...Pagi buta, ketika orang" masih sembab terlelap, suntuk semalaman menunggui emak Sawitri. Mak iti (begitu Biasa Beliau di panggil) ditengah sakit yg di deritanya nampak kecantikan yg luar biasa di usia tuanya. Matanya ibarat Telaga, terpancar lewat kebeningan bola mata yg tenang menatap mata hari yg mulai tersembul, seakan menatap masa depan dirinya. Semakin naik sang mentari menampakan dirinya, semakin sendu bola mata itu, semakin jelas yg terlihat adalah buliran air mata.
Kesedihan tak bisa mengelabuhi siratan mendung kerut" wajah cantiknya. Delapan Sembilan sudah masa lalunya bergulir mengalirkan sejuta cerita dan harapan baru. Harapan bagi sebuah proses dan ide buat bangsa ini. Atas keuletanya, atas ketahananya, atas keteguhanya atas segala kesetiaanya menjalankan misinya mengemban tugas membudayakan kesenian tari topeng (Tari Topeng Cirebon Gaya Losari) dari leluhurnya.
Seakan akan Beliau mencontohkan sebuah keadaan, atas kondisi peradaban yg telah berbalik. Ketika anak muda sudah kurang tertarik lagi menghargai kebudayaan tradisional. Ketika Pemerintah sudah tidak bisa berakhir lagi pada moral sejarah. Ketika Kesetiaan pada hidup di negeri ini sudah melenceng dari tempatnya. Ketika Hati Nurani sudah berpaling pada kekuasaan dan harta. Semangat Emak Sawitri untuk terus hidup mempertahankan amanatnya Menghidupkan Tari Topeng Losari tidak pernah terputus oleh Glamour keadaan yg ditawarkan Jaman ini.
Air Mata....Ya,...Air mata yg tertangkap dari pergumulan fikirnya. Kalaupun boleh tawar menawar dengan para Malaikat, tentu Beliau akan meminta " Tunggulah Sebelum Tugasku Selesai ",.
Masih teringat jelas, ketidak ikhlasan itu terdengar dari tuturnya yg tersendat sendat pada suatu malam di pembaringan sakitnya. Ia Mendambakan seorang Pewaris penerus perjuangan nasib dari kesenian Tari yg dulu Beliau Rintis dengan darah dan air Mata bersama saudara saudaranya. Kini beliau hanya tinggal seorang tersisa, dari The Three Musketters, Mak Dewi dan Kyai Kocap. Kedua Kakaknya yg dulu bahu membahu menghidupkan harmoni mengalirnya tari Topeng losari. Di tengah derasya arus modern yg terpampang nyata mengikis laju kesenian tradisional.
Ketika dalam Sakitnya, beliau masih ingin menggerakan tanganya, beliau masih ingin menendangkan sampurnya, Beliau masih ingin bersendawa dengan irama gamelan. Bercengkerama dengan para penabuh gamelan lainya membuat suatu keindahan abadi. Bersama cita" dan keinginan yg terus di kikis ombak perubahan jaman.
Isyarat tubuhnya menandakan kebandelan tekadnya. Rasa sakit hanya sebuah simbol baginya, bahwa manusia itu harus di uji dengan rasa sakit. Tapi semangatnya adalah Pualam, Beliau tidak merasa jera walaupun kenyataan telah berkali kali Menipunya. Barangkali Semangatnya itu yg ingin Pula Beliau ucapkan " Aku Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi,..",. Biar tuntas sudah amanat itu di jalankan.
Kini nama EMAK SAWITRI telah terukir bersatu dengan tanah Beliau telah berpulang 12 Juni 1999.
Beliau yg terakhir menyusul dari Sepuluh Bersaudara yg kini semua sudah kembali dengan tanah. Air Matanya itu adalah isyarat. Kepergianya yg meratapi sesuatu tanpa pernah Beliau dapatkan Jawabnya,. Di antara yg ada, Para Cucu dan Murid-muridnya, Beliau sempat gulirkan air mata itu. Sebagai peringatan menjalankan amanat itu sungguh bukan hal yg gampang. Beliau harus menjelma menjadi batu karang, Beliau harus berseteru dengan tawaran kemewahan dan kemapanan, "Akankah Engkau Masih Ada yg Tahan atas Semua ini GENERASIKU,...???" Begitulah kira" kata" untuk menerjemahkan air mata itu,...


",...Catatanku untuk Seorang Maestro Besar,...Emak sekaligus Guru Buatku,...Semoga ini bisa menjadi Kenangan dan bahwa "Menjaga dan Melestarikan Ibarat Karang yg di terjang Ombak Lautan,...Meski terus terkikis tetapi tetap akan selalu Kokoh Berdiri mempertahankan Akar dan Tonggaknya,...",...
Kami Semua Mencintaimu dan Akan Selalu menjaga Apa yg Menjadi Amanatmu,,"




© Copyright :: pegy WongCirebon Jehh (facebook)
Writen By :: jiie'a (facebook)